Kamis, 16 Januari 2014

MASALAH ITU "BERKAH"

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan & dosa, baik yang disengaja maupun tidak. Lagipula melakukan perubahan juga bukan perkara gampang, dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meski didasari dgn niat yang begitu kuat, namun ada saja hal dalam diri yang membuat qta trus mengulangi kesalahan yang sama....

Yang pasti jalani saja hidup ini, dan untuk setiap masalah yang datang, hadapilah dengan hati lapang. Jangan membebani hidup dgn masalah, tp jadikan masalah sebagai bahan intropeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seiring perjalanan waktu, baru qta sadari bahwa masalah itu membawa "berkah".........

Kamis, 10 Mei 2012

 "BELAJAR BAHASA ACEH"

Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni Bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialaek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda "eu" kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun" menjadi "tron", karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "beuec". Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
(Sumber : Dinas Pariwisata Prov. NAD. 2004. Jelajah Aceh. Banda Aceh)

Belajar Bahasa Aceh

Dalam bahasa Aceh, seperti bahasa-bahasa lainnya, dikenal juga subjek berupa orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga yang bisa berupa subjek tunggal ataupun jamak. Subjek-subjek tersebut adalah:
  • Orang Pertama
     Tunggal   
     
     : Lon (bisa juga Lon Tuan, ungkapan sopan)
     : Ku (digunakan dalam percakapan antar teman, terdegar kasar)

     Jamak         
  
     : Kamoe (yang berarti kami)
     : Geutanyoe (yang berarti kita)
  • Orang Kedua
     Tunggal   
     
     : Droeneuh (untuk orang yang lebih tua atau dituakan)
     : Gata (untuk orang yang lebih muda, ungkapan sopan)
     : Kah (untuk orang yang sebaya atau lebih muda, biasanya untuk teman) 
     Jamak  
         
     : Droeneueh mandum, Gata mandum, Kah mandum
  • Orang Ketiga
     Tunggal         
     : Gop nyan (artinya dia, baik itu laki-laki maupun perempuan, ungkapan sopan) 
: Jih (artinya juga dia, bisa digunakan untuk teman atau pun orang yang lebih muda)
Jamak
Droeneueh nyan mandum (bisa juga awak nyan mandum atau ureueng nyan, sebagai ungkapan sopan)
: Awak jeh mandum ( bisa juga Ureueng jeh
 
Sekarang kita sudah mengenal subjek-subjek dalam bahasa Aceh, jadi kita lanjutkan dengan membuat kalimat menggunakan subjek-subjek tersebut. Contoh kalimat sederhana:
Lon pajoh timphan
- Lon (saya) - lonpajoh --> lon + pajoh (makan) - timphan (kue tradisional Aceh)
Perhatikan kata lon pajoh, yang terdiri dari awalan lon dan kata kerja pajoh. Dalam bahasa Aceh, setiap subjek memiliki awalan yang dikombinasikan dengan kata dasar(kerja) yang sesuai dengan respek terhadap subjek tersebut. Pasangan subjek dan awalan tersebut adalah:
- Lon : lon - Ku : ku - Kamoe : meu - Geutanyoe : ta - Droeneueh : neu - Gata : ta - Kah : ka - Droeneuh mandum : neu - Gata mandum : ta - Kah mandum : ka - Gop nyan : geu - Jih : di - Droeneuh nyan mandum : geu - Awak nyan mandum : di

Contoh lain kalimat sederhana:
Kami pergi ke sawah Kamoe meujak u blang
- Kamoe (kami) - meujak --> meu + jak(pergi) - u (ke) -> blang (sawah)
Dia sudah pulang Gop nyan ka geuwoe atau Jih ka diwoe
- Gop nyan (dia) - ka (sudah) - geuwoe --> geu + woe (pulang) - Jih (dia) - ka (sudah) - diwoe --> di + woe (pulang)
Hal yang sama juga berlaku untuk subjek-subjek yang lain.

Bunyi Bahasa Aceh

Bunyi dalam bahasa Aceh terbagi dua, yaitu bunyi hidup (vokal) dan bunyi mati (konsonan). Masing-masing bunyi ini terbagi lagi menjadi bunyi tunggal dan bunyi rangkap.
I. Bunyi hidup (vokal) 
I.1 Bunyi hidup – tunggal bahasa Aceh memiliki bunyi hidup yang dihasilkan melalui mulut (vokal oral) dan hidung (vokal nasal). (a) vokal oral
- a : aduen (abang) bak (pohon) rab (dekat) saka (gula)
- i : iku (ekor) ija (kain) bit (benar) sit (juga) - e : dilafalkan seperti huruf e dalam kata lebih atau berani le (banyak) let (cabut) tahe (pandang) beuhe (berani)
- eu : eu (lihat) aneuk (anak) keude (kedai, warung) leubeh (lebih)
- é : dilafalkan seperti huruf e dalam kata sate ék (mau, sanggup, naik) éh (tidur) tabék (hormat) lé (oleh)
- è : dilafalkan seperti huruf e dalam kata petak èk (tinja) bèk (jangan) salèh (shaleh) mugè (tengkulak, sales)
- o : dilafalkan seperti huruf o dalam kata bosan lob (membalik) boh (buah) ok (bohong) po (empunya)
- ô  : dilafalkan seperti huruf o dalam kata foto ôk (rambut) ôn (daun) lôn (saya) bôh (mengisi)
- ö  : dilafalkan antara bunyi o dan e böh (buang) gadöh (hilang) beu-ö (malas) deungö (dengar)
- u : uram (pangkal) bu (nasi) karu (ribut) turi (kenal) (b) vokal nasal- 'a : 'ab (suap) s'ah (bisik) meuh'ai (mahal) nadeu'a (sakit parah)
- 'i : 'i-'i (suara tangis) 'ibadah (ibadah) t'ing (tiruan bunyi) sa'i (mengurung diri, bersemedi) - 'è : 'èt (pendek) la'èh (lemah) pa'è (tokek) 'èktikeuet (niat)
- 'eu : 'eu (ya) ta'eun (wabah)
- 'o : 'oh (hingga, cara, ketika) sy'o (sengau) kh'ob (bau busuk) ch'ob (tusuk)
- 'ö : is'öt (geser) ph'öt (bunyi padam api)
- 'u : 'u-'u (tiruan bunyi) meu'u (membajak) I.2 Bunyi hidup – rangkap
Bunyi hidup - rangkap dalam bahasa Aceh dapat dipilah dalam dua cara. Pertama, vokal rangkap yang dihasilkan melalui mulut (vokal oral) dan vokal rangkap yang dihasilkan melalui hidung (vokal nasal). Kedua, bunyi hidup - rangkap dapat pula dipilah menjadi vokal berakhiran e dan vokal berakhiran i. (a) vokal rangkap berakhiran e.

- ie : dilafalkan seperti huruf i yang diakhiri dengan huruf y ie (air) mie (kucing) sie (daging/potong) lieh (jilat)
- èë : dilafalkan seperti huruf è yang diakhiri dengan huruf y teubèë (tebu) kayèë (kayu) batèë (batu) bajèë (baju)
- euë : euë (lapang/mandul) keubeuë (kerbau) uleuë (ular) pageuë (pagar)
- oe : dilafalkan seperti huruf o yang diakhiri dengan huruf w baroe (kemarin) sagoe (sudut) duroe (duri) putroe (putri)
- öe : lagöe
- ue : dilafalkan seperti huruf u yang diakhiri dengan huruf w yue (suruh) sue (ampas) bue (kera) kue (ikat)
- 'ie : dilafalkan seperti huruf 'i yang diakhiri dengan huruf y p'ieb (hisap) reuh'ieb (rusak) reung'ieb (sejenis serangga) kh'ieng (bau busuk)
- 'èe : dilafalkan seperti huruf 'è yang diakhiri dengan huruf y 'èerat (aurat) peuna'èe (berulah)
- 'eue : dilafalkan seperti huruf 'eu yang diakhiri dengan huruf y 'eue (merangkak) s'euet (menampi)
- 'ue : dilafalkan seperti huruf 'u yang diakhiri dengan huruf w 'uet (telan) meu-'ue (membajak) neuk'uet (menir) s'ueb (limpa)

(b) vokal rangkap berakhiran i
- ai : dilafalkan seperti rangkaian huruf ai pada kata pakai sagai (saja) kapai (kapal) akai (akal) gatai (gatal)
- 'ai : dilafalkan seperti huruf 'a yang diakhiri dengan huruf y meuh'ai (mahal) - ei : hei (panggil)
- oi : boinah (kekayaan, harta benda) - ôi : dilafalkan seperti huruf ô yang diakhiri dengan huruf y bhôi (kue bolu) cangkôi (cangkul) tumpôi (tumpul) dôdôi (dodol)
- öi : lagöina (sangat)
- ui : dilafalkan seperti huruf u yang diakhiri dengan huruf y bui (babi) phui (ringan) cui (cungkil) apui (api)

II. Bunyi mati (Konsonan)
II.1 Bunyi mati - tunggalBahasa Aceh terdiri atas 24 buah bunyi mati - tunggal, yaitu:
- p : pajôh (makan) papeuen (papan) gobnyan (beliau) jakhab (terkam)
- t : tangké (tangkai) takue (leher) intat (antar) brat (berat)
- c : cah (tebas, babat) cabeueng (cabang) pancang (pancang) pucôk (pucuk)
- k : ka (sudah) likôt (belakang) galak (suka) jak (pergi)
- b : bunoe (tadi) keubeue (kerbau) sabab (sebab) kitab (kitab)
- d : deuh (tampak) duroe (duri) gadôh (lalai) gadöh (hilang)
- j : jeumöt (rajin) jén (jin) bajèe (baju) bajeueng (bejat)
- g : gabuek (sibuk) gidöng (injak) lagèe (seperti) lagôt (laku-dagangan)
- f : faké (fakir)
- s : su (suara) sipak (sepak) asoe (isi) gasien (miskin)
- sy : syaé (syair) désya (dosa) kasy'ak (becek)
- h : h'iem (teka-teki) jeuheuet (jahat) dah (sumbu) beukah (pecah)
- m : mat (pegang) timu (timur) gulam (pikul) tém (mau)
- n : na (ada) niet (niat) tagun (memasak) kheun (baca, kata)
- ny : nyan (itu) nyoe (ini) siny'ok (hempas) pany'ot (lampu) - ng : ngeut (bodoh) ngui (pakai) teungeut (kantuk, tidur) teugageueng (terpelanting)
- mb : mbôn (embun) mbông (sombong) - nd : kandét ganda tandéng- nj : panjoe meunjéng (cincin sumur) anjông kanji
- ngg : nggang (bangau)
- l : leumah (tampak) langai (bajak, garu) geuluyung (telinga) paleuet (telapak tangan)
- r : röt (jalan) rô (tumpah) baroe (kemarin) puréh (lidi)
- w : wa (peluk) wie (kiri) weueh (sedih) geulawa (lempar)- y : yôh (ketika) yö (takut) payah (payah, sukar) piyôh (istirahat)

II.2 Bunyi mati - rangkap
Bunyi mati - rangkap, yang disebut juga gugus konsonan, dalam bahasa Aceh terbagi menjadi bunyi mati - rangkap yang berakhiran h, l, dan r.(a) konsonan rangkap berakhiran h
- ph : pha (paha) phôn (pertama) timphan (jenis penganan khas Aceh) phô (jenis tarian Aceh)
- th : thô (kering) that (sangat) lathuk (berlumur - kotoran) thôn (tahun)
- ch : ch'a (pencar) chèn (loncat, lompat) chik (dewasa)
- kh : kha (paling berani, kuat, keras) jakhab (terkam) khueng (kemarau) kh'ieng (bau)
- bh : bhôi (kue) bhah (masalah) bhan (ban) bhoe (rapuh, renyah)
- dh : dhoe (dahi) dhiet (cantik) dheuen (dahan)
- jh : jhô (sorong, tolak) jhung (menarik)
- gh : leughum (tiruan bunyi) gham-ghum (tiruan bunyi)
- lh : lham (tenggalam) lhat (tambat, sangkut) lhôh (terangi) lhôn (telanjang)
- rh : rhah (cuci) rhoh (berbuah - padi) rhob (riuh)
(b) konsonan rangkap berakhiran l
- pl : plueng (lari) plè (tuang) plôh (puluh) plöh (lepas)
- cl : cl'am-clum (tiruan bunyi gerak kaki dalam air) clab-club (tiruan bunyi)
- kl : klo (tuli) kleuet (liat) kleueng (elang)
- bl : bloe (beli) blang (sawah) blie (pelotot) publa (melerai) - gl : gla (licin)
glue  (licin - tangan)   glông  (lingkaran)   glöng  (pancangkan)  


(c) konsonan rangkap berakhiran r
- pr : pruh (tiup/hembus) pr'iek (robek) pruet (perut) prah (peras)
- tr : trieng (bambu) trueng (terong) trang (terang) trôh (simpan, tiba)
- cr : crôh (goreng) crah (retak) cr'ah (tumis) crông (timba)
- kr : krueng (sungai) kreueh (keras) krang (rapuh, renyah)
- br : breueh (beras) brôh (sampah) brôk (buruk) bruek (tempurung)
- dr : droe (diri) jeundrang (jerami) geundrang (genderang)
- jr : jroh (baik/bagus) jra (jera) jruek (awet, pekasan) keujruen (pengawas)
- gr : grah (haus) groh (putik) grôb (lompat)
Dalam mempelajari bahasa Aceh, perlu juga diperhatian beberapa bunyi yang berbeda antara bahasa Aceh dengan bahasa Melayu. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah:
- Bahasa Aceh memiliki konsonan rangkap baik pada suku pertama maupun suku kedua, misalnya:
Pada suku pertama; pada suku kedua; dhoe (dahi); atra (harta); kha (berani); jakhab (terkam); brôh (sampah); geundrang (genderang); glang (cacing); ablak (sejenis hiasan); pha (paha); subra (riuh rendah); cheue (teduh); ganchéb (kuncikan); dan lain-lain dan lain-lain
- Bunyi d dan t disuarakan dengan menggerakkan ujung lidah pada langit-langit dekat akar gigi atas.
- bunyi d yang terdapat pada akhir kata bahasa Melayu menjadi bunyi t dalam bahasa Aceh, misalnya: Ahad menjadi Aleuhat (hari Minggu) dalam bahasa Aceh.
- bunyi rangkap èë dalam bahasa Aceh, kadang-kadang menggantikan bunyi u dalam bahasa Melayu, misalnya:
  kayu -> kayèë;   asu -> asèë;   kutu -> gutèë;  batu -> batèë;  bulu -> bulèë;
 pangku -> pangkèë; baju -> bajèë;  tamu -> jamèë;   guru -> gurèë;  malu -> malèë; 
 ribu -> ribèë;    tentu -> teuntèë; palu -> palèë;   dan lain-lain  

- bunyi oe (ow) bahasa Aceh kadang-kadang menggantikan bunyi i bahasa Melayu, misalnya:
  puteri -> putroe; kami -> kamoe;  tuli -> tuloe;   mandi -> manoe; jari -> jaroe;
 laki -> lakoe;   kemudi -> keumudoe; puji -> pujoe;  ganti -> gantoe; 
negeri -> nanggroe; adik 

-> adoe; dan lain-lain
- bunyi eue bahasa Aceh kadang-kadang menggantikan bunyi a pada suku kedua yang mendahului konsonan penutup bahasa Melayu, misalnya: bulan -> buleuen; salam -> saleuem; udang -> udeueng; hutan -> uteuen; atas -> ateueh; lintang -> linteueng; layar -> layeue; orang -> ureueng; pinang -> pineueng; papan -> papeuen; ular -> uleue; dan lain-lain
- bunyi r pada akhir kata bahasa Melayu, biasanya menjadi hilang dalam bahasa Aceh, misalnya:
ular -> uleuë;  ukur -> ukô;  alur -> alue;   kapur -> gapu;  layar -> layeue;
 dengar -> deungö;   sekadar -> sekada; sabar -> saba;  dan lain-lain. 
 
Sumber : http://acehpedia.org/Bahasa_Aceh

Rabu, 09 Mei 2012

Aceh Dalam "Lhee Sagoe"

 Memang takdir Aceh berada di pucuk Sumatera, dan bila dipandang dr langit, tanah ini seperti segitiga (lhee sagoe). Bentuk geografis Aceh menjadi unik, sekaligus menginspirasi generasi Aceh. Dan sejarah Aceh pernah mencapai puncak kejayaan ketika kerajaan Aceh Darussalam didirikan tepat diatas pucuk segi tiga itu.

Aceh mempunyai struktur demografis yg beragam dgn sumber daya alam yg kaya. Penduduk NAD yg berjumlah sekitar 4,6 juta jiwa, tersebar di kawasan pantai dan pedalaman Aceh. Sebagian besar penduduk bermukim di sepanjang pantai Lautan India dr Singkil ke Banda Aceh dan sepanjang pantai Selat Malaka dr Banda Aceh ke Kuala Simpang. Mata penghidupan mereka terutama dr pertanian dan perdagangan.

Dalam kawasan segitiga itu terhampar kekayaan alam melimpah ruah mulai dr minyak dan gas bumi sampai kekayaan hutan dgn ekosistem yg utuh dan keanekaragaman hayati yg sgt kaya. Secara alami, kawasan hutan Aceh ini dikenal dgn kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yg menjadi jantung sekaligus penjaga kehidupan Aceh.

Konsep pembangunan Lhee Sagoe menghendaki Aceh utk membangun sentra ekonomi yg berorientasi ke utara, ke Banda Aceh sbg ibukota daerah dan Sabang sbg pelabuhan samudra daerah Aceh. Karena itulah, di thn 1970-an, pemimpin Aceh menggagas utk membangun pelabuhan Krueng Geukuh di pantai Utara Aceh yg didukung dgn membangun jaringan jalan penyangganya.

Infrastruktur jalan yg baik di kedua sisi, baik di Lintas Barat Selatan maupun Lintas Utara Timur Aceh dibangun utk menghubungkan kawasan pantai Lautan India dgn dinamika pembangunan Selat Malaka. Disepakati jg utk menjadikan jalur segitiga Meulaboh - Banda Aceh - Lhokseumawe (MBL) sbg sarana kawasan pertumbuhan Aceh.

Konsep pertumbuhan Lhee Sagoe hendaklah tdk dipahami sbg teori pertumbuhan ekonomi trickle down effect dimana arus pembangunan ekonomi berjalan dr atas ke bawah, namun jg berlaku sebaliknya. Dgn kata lain, kekuatan ekonomi Aceh tdk terletak di atas pucuknya tetapi di dua segi lainnya. Dan ini hanya akan terwujud jika infrastruktur Banda Aceh mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan penyangga. Jika tidak, aliran produksi alam Aceh akan tetap mengalir ke Medan.

Ketika kawasan penyangga tdk memandang ke Banda Aceh sbg kiblat aliran ekonomi, pertumbuhan ekonomi di tiga-segi Aceh tdk berlangsung dgn sinergi dan pembangunan internal Aceh menjadi sgt lamban. Sebaliknya, Medan akan menjadi pusat aktivitas ekonomi daerah Sumatra Utara dan Aceh, akan terus maju dan padat. Ketimpangan Banda Aceh dan Medan akan semakin kentara. Ketika ini terjadi, kita berharap Ali Mughayatsyah utk lahir kembali.

Selasa, 08 Mei 2012

BERNAMA "ACEH"


 KATANYA, keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropah, dan Hindia. Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh.Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya; Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja. Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achmenia-Parsia-Acheh). Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat. Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja. Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.

Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). Sebab datangsampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja. Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka) .Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.

Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Kuta Karang dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama. Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”. Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang - gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati. Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.

Sumber :  M. Adli Abdullah; adalah dosen dan peminat sejarah Aceh

Senin, 07 Mei 2012


‘Si Mata Biru’ Orang Aceh Keturunan Portugis

 

TSUNAMI yang menggulung Aceh, 26 Desember 2004, merenggut lebih dari 100 ribu orang, hanya di Serambi Mekah. Juga nyaris membuat punah ‘si Mata Biru’, penduduk Aceh keturunan Portugis. Desa-desa mereka tersapu dahsyatnya gelombang gergasi.
Sudah lama Lamno, ibu kota Kecamatan Jaya, populer karena sebagian penduduknya tak seperti warga Aceh kebanyakan. Meski dari kampung, fisik mereka mirip orang Eropa: Mata biru kecokelatan, hidung mancung, kulit putih, rambut pirang, dan perawakan tinggi. Mereka kebanyakan adalah penduduk asli Daya.
Hingga kini, tak catatan pasti mengapa para peranakan Lamno ini sampai ada di kaki Gunung Geureute Aceh Jaya. Seperti dimuat Radio Nederland, 5 April 2012, seorang warga Desa Ujong Muloh, Wahidin, yang juga punya darah Portugis, mengatakan jumlah para warga keturunan ini sudah sangat berkurang.

Yang ada saat ini, “merupakan keturunan ke delapan karena dari orangtua kami ada yang kelima dan enam. Di kabupaten Aceh Jaya dan khususnya Kecamatan Jaya, dan Kecamatan Indra Jaya di Kecamatan Baru, terdapat beberapa desa yang dihuni oleh penduduk keturunan Portugis yang pada abad ke-14 sampai ke-16 terdampar di daerah kerajaan Daya,” cerita Wahidin.

Konon, di zaman dulu, masyarakat Kerajaan Daya menyelamatkan orang-orang Portugis dan menikahkannya dengan penduduk sekitar. Kala itu, kapal perang Portugis terdampar di perairan Lamno.
“Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis, yaitu desa Ujong Muloh, Kuala Daya, Gle Jong, Teumareum dan Lambeso, ini hampir semua wanita dan prianya berciri khas kulit putih, rambut pirang dan hidung mancung. Tambahan lagi, para prianya memiliki bulu tebal di tangan dan dada.
Meski berwajah kaukasia, budaya mereka kental Aceh dan Islam. “Di Lamno pengaruh Islam luar biasa. Tentara Portugis yang telah kawin dengan dengan masyarakat Lamno mengikuti agama Islam,” kata Wahidin.
Itu versi pertama. Yang kedua, Portugis datang ke Aceh untuk menjajah pada tahun 1519 dan menikah dengan penduduk setempat.

Menurut catatan sejarah di pusat dokumen induk Aceh, Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunia tahun 1292-1295 pernah singgah di kerajaan Daya dan menulis buku tentang kebesaran kerajaan Daya berbaur dengan prajurit Portugis di Lamno.
Pemerintah Portugal sendiri telah menyalurkan bantuan pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan di kawasan tersebut yang masih tersisa.